Suatu siang, di jalan Gajayana Malang.
Sebuah motor menyalipku kencang. Beberapa detik kemudian,
CIIIIIIITTTTT...........!!!!
BRAAKKK.....!!! BHUGGG.......!!!
Terdengar suara decitan rem motor yang disusul bunyi benturan dua benda keras dan pekikan kesakitan, "Aaaarghw ... tolooong"
Dua motor didepanku bergelimpangan setelah bertabrakan cukup keras. Masing-masing pengendaranya terjatuh mencium aspal. Ada darah segar mengalir.
Aku yang kebetulan hanya satu meteran saja dari tempat kejadian ikut shock. Kurasakan jantungku berdegup keras saking kagetnya. Beruntung, aku memacu motorku tidak terlalu kencang jadi aku bisa mengendalikan diri dan motorku dengan segera. Aku menepi dan berhenti. Wah aku saksi mata ini, batinku.
Orang-orang berdatangan ke tempat kejadian. Ada yang menggotong korban ke tempat yang lebih aman, ada yang memberi minum, ada yang meminggirkan kedua motor yang sepertinya beberapa bagiannya rusak atau lepas akibat benturan keras tadi. Namun ada juga yang hanya sekedar menonton saja. Beberapa orang mulai mengatur jalannya lalu lintas yang tak pelak antri mengular.
Kedua korban yang sama-sama laki-laki, sepertinya mahasiswa, mendapat pertolongan pertama dari penduduk setempat. Alhamdulilah meski tadi ada darah mengalir namun ternyata bukan luka serius. Setelah bermusyawarah beberapa saat, kedua korban sepakat menyelesaikan masalah ini dengan kekeluargaan. Sepertinya kedua korban telah mengakui kesalahan masing-masing. Keduanya berjalan dari dua arah berlawanan, salahsatunya searah denganku, sama-sama ngebut dan menyalip kencang bahkan sampai melewati marka jalan, maka tak terhindarlah tabrakan itu.
Aku memang sengaja menunggu keadaan sampai tenang, meski aku mengamati dengan diam dan posisi agak jauh. Walau bagaimanapun aku adalah salah satu saksi mata. Bukannya sok menjadi pahlawan kesiangan sih, yah barangkali saja diperlukan sebuah keterangan dariku.
Mendapati masalah telah dianggap selesai aku melanjutkan perjalanan pulang.
****
Di rumah aku masih belum move on dari kejadian kecelakaan itu. Aku masih terpekur mensyukuri bahwa aku tidak ikut menjadi korban pada kecelekaan yang hanya berjarak sepandangan mata saja dariku.
Aku merenung, kenapa ya kok angka kecelekaan di Indonesia sangat tinggi?
Coba cek data terbaru dari World Health Organizatuon (WHO) tahun 2016. WHO menyatakan bahwa China menduduki peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Disusul India di peringkat 2. Indonesia? Negara kita tercinta ini menempati peringkat ke empat. Naik satu peringkat dari ketika WHO merilis data yang sama pada tahun 2014.
Dengan jumlah korban tewas akibat kecelekaan lalu lintas yang menembus angka 120 perhari dan jumlah kendaraan bermotor roda dua yang terus membanjir, menjadikan Indonesia menduduki peringkat pertama dalam hal tren peningkatan jumlah kecelekaan lalu lintas. Data ini dirilis oleh WHO dalam Global Status Report of Safety Road.
Data yang di bilang cukup mencengangkan ini tidak sepenuhnya mengherankan juga sih. Coba kita lihat perilaku rakyat Indonesia dalam berlalu lintas sehari-hari. Aku bilang menyedihkan sekali. Sebagian rakyat Indonesia seakan-akan menjelma menjadi orang yang buta huruf ketika di jalanan. Buta huruf terhadap rambu dan etika berlalu lintas. Lampu merah diterabas, rambu-rambu banyak yang dilanggar, mengebut dijalanan kota, zigzag, berjalan melawan arus, ketika macet mengular beberapa pengendara roda dua bahkan nekat memakai trotoar sebagai jalan alternatif, tidak mendahulukan pejalan kaki dan pengendara sepeda (gowes) dan masih banyak perilaku menyedihkan lainnya. Aku pun pernah menjadi korban dari pengendara roda dua yang melawan arus.
Apa iya rakyat Indosnesia benar-benar buta terhadap makna rambu lalu lintas yang terpasang di sepanjang jalan? Bukankah ketika akan mengambil Surat Izin Mengemudi (SIM) ada tes tulis tentang ini? Dan sebelum melaju pada tes praktek, tes tulis ini harus lulus. Atau ini hanya kesadarannya saja yang rendah terhadap pentingnya mematuhi rambu yang dipasang dengan tujuan demi ketertiban bersama?
Entahlah...
Memang benar sekarang jumlah sepeda motor meningkat, bahkan sudah menembus angka 60 juta lho. Jauh meninggalkan jumlah roda empat yang berada di angka 8 juta. Pengendara motor telah menjadi penguasa jalanan sekarang.
Namun apakah tidak bisa lagi menumbuhkan kesadaran berlalu lintas? Semakin banyak jumlah kendaraan dijalanan seharusnya semakin meningkatkan kesadaran bahwa jalanan adalah milik bersama. Jumlah jalan tetap sedangkan yang memakai banyak. Semua ingin mendapatkan keamanan dan kenyamanan ketika dijalan. Mbok ya yang punya kebiasaan ngebut disalurkan di sirkuit aja gitu.
Akhir kata, di awali dari pribadi masing-masing, mari kita sama-sama mematuhi rambu lalu lintas dan mengedepankan etika yang baik ketika berkendara sebagai cermin akhlak mulia.
Malang, 15 Desember 2016
Bunda Farhanah
#onedayonepost
#artikel/inspirasi
Sebuah motor menyalipku kencang. Beberapa detik kemudian,
CIIIIIIITTTTT...........!!!!
BRAAKKK.....!!! BHUGGG.......!!!
Terdengar suara decitan rem motor yang disusul bunyi benturan dua benda keras dan pekikan kesakitan, "Aaaarghw ... tolooong"
Dua motor didepanku bergelimpangan setelah bertabrakan cukup keras. Masing-masing pengendaranya terjatuh mencium aspal. Ada darah segar mengalir.
Aku yang kebetulan hanya satu meteran saja dari tempat kejadian ikut shock. Kurasakan jantungku berdegup keras saking kagetnya. Beruntung, aku memacu motorku tidak terlalu kencang jadi aku bisa mengendalikan diri dan motorku dengan segera. Aku menepi dan berhenti. Wah aku saksi mata ini, batinku.
Orang-orang berdatangan ke tempat kejadian. Ada yang menggotong korban ke tempat yang lebih aman, ada yang memberi minum, ada yang meminggirkan kedua motor yang sepertinya beberapa bagiannya rusak atau lepas akibat benturan keras tadi. Namun ada juga yang hanya sekedar menonton saja. Beberapa orang mulai mengatur jalannya lalu lintas yang tak pelak antri mengular.
Kedua korban yang sama-sama laki-laki, sepertinya mahasiswa, mendapat pertolongan pertama dari penduduk setempat. Alhamdulilah meski tadi ada darah mengalir namun ternyata bukan luka serius. Setelah bermusyawarah beberapa saat, kedua korban sepakat menyelesaikan masalah ini dengan kekeluargaan. Sepertinya kedua korban telah mengakui kesalahan masing-masing. Keduanya berjalan dari dua arah berlawanan, salahsatunya searah denganku, sama-sama ngebut dan menyalip kencang bahkan sampai melewati marka jalan, maka tak terhindarlah tabrakan itu.
Aku memang sengaja menunggu keadaan sampai tenang, meski aku mengamati dengan diam dan posisi agak jauh. Walau bagaimanapun aku adalah salah satu saksi mata. Bukannya sok menjadi pahlawan kesiangan sih, yah barangkali saja diperlukan sebuah keterangan dariku.
Mendapati masalah telah dianggap selesai aku melanjutkan perjalanan pulang.
****
Di rumah aku masih belum move on dari kejadian kecelakaan itu. Aku masih terpekur mensyukuri bahwa aku tidak ikut menjadi korban pada kecelekaan yang hanya berjarak sepandangan mata saja dariku.
Aku merenung, kenapa ya kok angka kecelekaan di Indonesia sangat tinggi?
Coba cek data terbaru dari World Health Organizatuon (WHO) tahun 2016. WHO menyatakan bahwa China menduduki peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Disusul India di peringkat 2. Indonesia? Negara kita tercinta ini menempati peringkat ke empat. Naik satu peringkat dari ketika WHO merilis data yang sama pada tahun 2014.
Dengan jumlah korban tewas akibat kecelekaan lalu lintas yang menembus angka 120 perhari dan jumlah kendaraan bermotor roda dua yang terus membanjir, menjadikan Indonesia menduduki peringkat pertama dalam hal tren peningkatan jumlah kecelekaan lalu lintas. Data ini dirilis oleh WHO dalam Global Status Report of Safety Road.
Data yang di bilang cukup mencengangkan ini tidak sepenuhnya mengherankan juga sih. Coba kita lihat perilaku rakyat Indonesia dalam berlalu lintas sehari-hari. Aku bilang menyedihkan sekali. Sebagian rakyat Indonesia seakan-akan menjelma menjadi orang yang buta huruf ketika di jalanan. Buta huruf terhadap rambu dan etika berlalu lintas. Lampu merah diterabas, rambu-rambu banyak yang dilanggar, mengebut dijalanan kota, zigzag, berjalan melawan arus, ketika macet mengular beberapa pengendara roda dua bahkan nekat memakai trotoar sebagai jalan alternatif, tidak mendahulukan pejalan kaki dan pengendara sepeda (gowes) dan masih banyak perilaku menyedihkan lainnya. Aku pun pernah menjadi korban dari pengendara roda dua yang melawan arus.
Apa iya rakyat Indosnesia benar-benar buta terhadap makna rambu lalu lintas yang terpasang di sepanjang jalan? Bukankah ketika akan mengambil Surat Izin Mengemudi (SIM) ada tes tulis tentang ini? Dan sebelum melaju pada tes praktek, tes tulis ini harus lulus. Atau ini hanya kesadarannya saja yang rendah terhadap pentingnya mematuhi rambu yang dipasang dengan tujuan demi ketertiban bersama?
Entahlah...
Memang benar sekarang jumlah sepeda motor meningkat, bahkan sudah menembus angka 60 juta lho. Jauh meninggalkan jumlah roda empat yang berada di angka 8 juta. Pengendara motor telah menjadi penguasa jalanan sekarang.
Namun apakah tidak bisa lagi menumbuhkan kesadaran berlalu lintas? Semakin banyak jumlah kendaraan dijalanan seharusnya semakin meningkatkan kesadaran bahwa jalanan adalah milik bersama. Jumlah jalan tetap sedangkan yang memakai banyak. Semua ingin mendapatkan keamanan dan kenyamanan ketika dijalan. Mbok ya yang punya kebiasaan ngebut disalurkan di sirkuit aja gitu.
Akhir kata, di awali dari pribadi masing-masing, mari kita sama-sama mematuhi rambu lalu lintas dan mengedepankan etika yang baik ketika berkendara sebagai cermin akhlak mulia.
Malang, 15 Desember 2016
Bunda Farhanah
#onedayonepost
#artikel/inspirasi
Comments
Post a Comment