Memilih menjadi ibu yang bekerja atau ibu rumah tangga penuh?
Pertanyaan diatas seakan tak pernah habis dibahas. Sudah banyak tulisan yang mengulas dari berbagai pandangan. Dan sekarang tak ingin ketinggalan, saya pun ikutan membahasnya. Tentu ini ulasan yang saya banget, ya semacam curhat tipis-tipislah :D. Panjenengan boleh sependapat boleh juga tidak.
Mengenai Wanita Bekerja
Hmm saya selalu amazing jika melihat wanita bekerja. Dosen, guru, dokter, bidan, perawat atau karyawati. Dalam pandangan saya mereka itu cantik, intelek, segar, modern dan pastinya berpenghasilan. Apalagi wanita bekerja yang sudah menikah dan memiliki anak, hanya satu kata dari saya untuk mereka, keren. Hebat, karena bisa mengatur waktu antara keluarga dan karir.
Satu lagi yang saya kagumi dari wanita bekerja yaitu mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk mengaktualisasikan diri, bepergian ke tempat-tempat baru plus bertemu orang baru dan tentunya peluang kebermanfaatan bagi orang banyak juga lebih besar.
Lebih jauh tentang ibu yang bekerja. Seiring kebutuhan manusia yang semakin hari semakin komplek, maka keberadaan wanita di dunia kerja semakin dibutuhkan. Khususnya di bidang pekerjaan yang langsung bersinggungan dengan kebutuhan wanita (dan anak-anak). Contohnya, pendidik di PaUd dan daycare, bidan, perawat wanita, dokter wanita, pramuniaga di toko-toko kebutuhan wanita dan masih banyak lagi. Saya pribadi, ketika hamil dan melahirkan lebih sreg ditangani oleh dokter kandungan wanita.
Ohiya tentang pramuniaga di toko-toko kebutuhan khusus wanita, saya pernah membaca di surat kabar, bahwa wanita-wanita arab mengeluh malu dan tak nyaman karena dilayani pramuniaga pria ketika membeli pakaian dalam wanita :). Konon akhirnya pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengijinkan wanita bekerja sebagai pramuniaga di toko-toko khusus wanita.
Jujur saja, ketika baru lulus kuliah, seperti fresh graduate lainnya saya pun memburu kerja. Setiap hari kerjaannya menekuri iklan lowongan di surat kabar, melayangkan puluhan surat lamaran ke berbagai perusahaan, ikut tes PNS, ikut tes ini itu juga antri wawancara ini dan itu.
Jangan tanya adakah salah satu kantor yang saya kirimi surat lamaran itu menerima saya? Panjenengan pasti bisa menebaknya karena kini saya hanya ibu rumah tangga atau istilah kerennya fulltime mommy.
Bisa dibilang, waktu itu, menjadi Ibu Rumah Tangga saja adalah pilihan terakhir saya. Ohya, ketika lulus kuliah di usia 22 tahun saya sudah menikah dan memiliki seorang batita juga sedang hamil 4 bulan. Atas dorongan suami, saya pun dengan tegar memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Suami selalu membesarkan hati, bahwa menjadi ibu rumah tangga tak kalah mulia dengan ibu yang bekerja di luar rumah. Suami juga menghibur bahwa saya pasti bisa berkarya walau dari rumah.
Mengenai Ibu Rumah Tangga Atau Full Time Mommy
Ketika akhirnya saya memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja, memang ada orang yang menyayangkan keputusan saya ini. Rata-rata mereka mengatakan buat apa sekolah tinggi jika akhirnya kembali ke dapur, apalagi prestasi akademik saya tidaklah mengecewakan. Menanggapinya saya hanya tersenyum saja. Emangnya mau marah gitu :). Bismillah ajalah.
Beruntung, saya memiliki orang tua yang mendukung apapun keputusan saya, selama tidak keluar dari koridor kebaikan. Beliau berdua yang telah berjasa merawat, mendidik dan membiayai pendidikan tidak pernah menuntut saya untuk bekerja. Saya tahu beliau berdua hanya ingin membekali saya ilmu, misalnya saya bekerja dan bisa mandiri secara finansial itu adalah bonus tersendiri. Wahai abah umi dengan apa aku membalas jasamu, hanya doa semoga Allah mengampuni dan menyayangimu.
Lebih jauh lagi, saya semakin menyadari bahwa menjadi ibu rumah tangga itu bukan melulu identik dengan daster, mencuci, menyeterika, mengepel dan pekerjaan rumah tangga lain. Benar, jika urusan domestik rumah tangga tidak terurus dengan baik, maka akan mengganggu kegiatan sehari-hari seluruh anggota keluarga. Namun ada yang lebih penting dari tetek bengek pekerjaan rumah tangga itu. Yaitu tugas ibu sebagai pendidik putra-putri. Seperti kata pepatah, Al-ummu madrosatul ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Baca lebih lanjut tentang Al-ummu madrosatul ula di
Fullday School Sejati
Apa makna dari ibu adalah sekolah pertama ini? Sebagaimana makna sekolah yang kita kenal, yaitu sebagai tempat menuntut ilmu, maka bisa diartikan bahwa ibu adalah tempat belajar bagi anak-anaknya. Dengan kata lain, ibu adalah pendidik. Maka seorang ibu sudah seharusnya berpendidikan, terutama pendidikan agama dan akhlak. Bila seorang ibu menyiapkan dirinya dengan baik, maka akan lahir generasi-generasi penerus yang baik pula. InshaAllah.
Jadi ingat sebuah kalimat mutiara dari seorang artis wanita Indonesia yang kecantikannya 11-12 dengan saya (hehehehe) yaitu Dian Sastrowardoyo. Dian mengatakan: Seorang wanita sudah seharusnya berpendidikan tinggi, entah dia akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga saja, karena wanita akan mendidik putra-putrinya.
Wih keren banget sih panjenengan mbak Dian, saya setuju dah :).
Bagi ibu yang belum mempunyai kesempatan untuk melanjutkan sekolah karena satu atau lain hal, tak perlu berkecil hati. Terus terang saya pribadi juga masih berhasrat melanjutkan pendidikan. Namun, menuntut ilmu bisa melalui media apa saja. Bisa ikut kursus untuk menambah keterampilan, bisa ikut majlis-majlis ta'lim, memperbanyak membaca dan sebagainya. Sejatinya setiap manusia, tak terkecuali seorang ibu, memiliki kewajiban untuk belajar sejak dari buaian sampai masuk liang lahat kelak.
Jadi pendapat yang masih menyatakan nggak perlu sekolah tinggi jika akan menjadi ibu rumah tangga saja, ini dibuang jauh aja karena sudah expired :)
Terakhir, mengenai pertanyaan seperti yang tertulis di judul artikel ini, bagi seorang wanita, apakah kelak akan menjadi ibu rumah tangga saja atau ibu yang bekerja diluar rumah, ini adalah pilihan masing-masing.
Wallahua'lam
Malang, 22 Februari 2017
Bunda Farhanah
#onedayOnepost
#inspirasi
#selfReminder
Pertanyaan diatas seakan tak pernah habis dibahas. Sudah banyak tulisan yang mengulas dari berbagai pandangan. Dan sekarang tak ingin ketinggalan, saya pun ikutan membahasnya. Tentu ini ulasan yang saya banget, ya semacam curhat tipis-tipislah :D. Panjenengan boleh sependapat boleh juga tidak.
Mengenai Wanita Bekerja
Hmm saya selalu amazing jika melihat wanita bekerja. Dosen, guru, dokter, bidan, perawat atau karyawati. Dalam pandangan saya mereka itu cantik, intelek, segar, modern dan pastinya berpenghasilan. Apalagi wanita bekerja yang sudah menikah dan memiliki anak, hanya satu kata dari saya untuk mereka, keren. Hebat, karena bisa mengatur waktu antara keluarga dan karir.
Satu lagi yang saya kagumi dari wanita bekerja yaitu mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk mengaktualisasikan diri, bepergian ke tempat-tempat baru plus bertemu orang baru dan tentunya peluang kebermanfaatan bagi orang banyak juga lebih besar.
Lebih jauh tentang ibu yang bekerja. Seiring kebutuhan manusia yang semakin hari semakin komplek, maka keberadaan wanita di dunia kerja semakin dibutuhkan. Khususnya di bidang pekerjaan yang langsung bersinggungan dengan kebutuhan wanita (dan anak-anak). Contohnya, pendidik di PaUd dan daycare, bidan, perawat wanita, dokter wanita, pramuniaga di toko-toko kebutuhan wanita dan masih banyak lagi. Saya pribadi, ketika hamil dan melahirkan lebih sreg ditangani oleh dokter kandungan wanita.
Ohiya tentang pramuniaga di toko-toko kebutuhan khusus wanita, saya pernah membaca di surat kabar, bahwa wanita-wanita arab mengeluh malu dan tak nyaman karena dilayani pramuniaga pria ketika membeli pakaian dalam wanita :). Konon akhirnya pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengijinkan wanita bekerja sebagai pramuniaga di toko-toko khusus wanita.
Jujur saja, ketika baru lulus kuliah, seperti fresh graduate lainnya saya pun memburu kerja. Setiap hari kerjaannya menekuri iklan lowongan di surat kabar, melayangkan puluhan surat lamaran ke berbagai perusahaan, ikut tes PNS, ikut tes ini itu juga antri wawancara ini dan itu.
Jangan tanya adakah salah satu kantor yang saya kirimi surat lamaran itu menerima saya? Panjenengan pasti bisa menebaknya karena kini saya hanya ibu rumah tangga atau istilah kerennya fulltime mommy.
Bisa dibilang, waktu itu, menjadi Ibu Rumah Tangga saja adalah pilihan terakhir saya. Ohya, ketika lulus kuliah di usia 22 tahun saya sudah menikah dan memiliki seorang batita juga sedang hamil 4 bulan. Atas dorongan suami, saya pun dengan tegar memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Suami selalu membesarkan hati, bahwa menjadi ibu rumah tangga tak kalah mulia dengan ibu yang bekerja di luar rumah. Suami juga menghibur bahwa saya pasti bisa berkarya walau dari rumah.
Mengenai Ibu Rumah Tangga Atau Full Time Mommy
Ketika akhirnya saya memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja, memang ada orang yang menyayangkan keputusan saya ini. Rata-rata mereka mengatakan buat apa sekolah tinggi jika akhirnya kembali ke dapur, apalagi prestasi akademik saya tidaklah mengecewakan. Menanggapinya saya hanya tersenyum saja. Emangnya mau marah gitu :). Bismillah ajalah.
Beruntung, saya memiliki orang tua yang mendukung apapun keputusan saya, selama tidak keluar dari koridor kebaikan. Beliau berdua yang telah berjasa merawat, mendidik dan membiayai pendidikan tidak pernah menuntut saya untuk bekerja. Saya tahu beliau berdua hanya ingin membekali saya ilmu, misalnya saya bekerja dan bisa mandiri secara finansial itu adalah bonus tersendiri. Wahai abah umi dengan apa aku membalas jasamu, hanya doa semoga Allah mengampuni dan menyayangimu.
Lebih jauh lagi, saya semakin menyadari bahwa menjadi ibu rumah tangga itu bukan melulu identik dengan daster, mencuci, menyeterika, mengepel dan pekerjaan rumah tangga lain. Benar, jika urusan domestik rumah tangga tidak terurus dengan baik, maka akan mengganggu kegiatan sehari-hari seluruh anggota keluarga. Namun ada yang lebih penting dari tetek bengek pekerjaan rumah tangga itu. Yaitu tugas ibu sebagai pendidik putra-putri. Seperti kata pepatah, Al-ummu madrosatul ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Baca lebih lanjut tentang Al-ummu madrosatul ula di
Fullday School Sejati
Apa makna dari ibu adalah sekolah pertama ini? Sebagaimana makna sekolah yang kita kenal, yaitu sebagai tempat menuntut ilmu, maka bisa diartikan bahwa ibu adalah tempat belajar bagi anak-anaknya. Dengan kata lain, ibu adalah pendidik. Maka seorang ibu sudah seharusnya berpendidikan, terutama pendidikan agama dan akhlak. Bila seorang ibu menyiapkan dirinya dengan baik, maka akan lahir generasi-generasi penerus yang baik pula. InshaAllah.
Jadi ingat sebuah kalimat mutiara dari seorang artis wanita Indonesia yang kecantikannya 11-12 dengan saya (hehehehe) yaitu Dian Sastrowardoyo. Dian mengatakan: Seorang wanita sudah seharusnya berpendidikan tinggi, entah dia akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga saja, karena wanita akan mendidik putra-putrinya.
Wih keren banget sih panjenengan mbak Dian, saya setuju dah :).
Bagi ibu yang belum mempunyai kesempatan untuk melanjutkan sekolah karena satu atau lain hal, tak perlu berkecil hati. Terus terang saya pribadi juga masih berhasrat melanjutkan pendidikan. Namun, menuntut ilmu bisa melalui media apa saja. Bisa ikut kursus untuk menambah keterampilan, bisa ikut majlis-majlis ta'lim, memperbanyak membaca dan sebagainya. Sejatinya setiap manusia, tak terkecuali seorang ibu, memiliki kewajiban untuk belajar sejak dari buaian sampai masuk liang lahat kelak.
Jadi pendapat yang masih menyatakan nggak perlu sekolah tinggi jika akan menjadi ibu rumah tangga saja, ini dibuang jauh aja karena sudah expired :)
Terakhir, mengenai pertanyaan seperti yang tertulis di judul artikel ini, bagi seorang wanita, apakah kelak akan menjadi ibu rumah tangga saja atau ibu yang bekerja diluar rumah, ini adalah pilihan masing-masing.
Wallahua'lam
Malang, 22 Februari 2017
Bunda Farhanah
#onedayOnepost
#inspirasi
#selfReminder
Terima kasih ulasannya bunda Asni sangat bermanfaat 😊
ReplyDelete