Pada medio tahun
2010-2011, Abah Yai Sujak (Mertua saya) pernah ngendikan bahwa ia ingin wafat sebagai orang miskin. Saya terkejut
mendengarnya. Waktu itu di usianya yang sudah 85 tahun, Abah Yai masih tampak
sehat, masih salat berjamaah ke langgar, masih inten mengaji dan masih kerso makan ini itu.
Saya
memberanikan diri bertanya, “Apa maksud Abah berkata demikian?”
“Ya, karena
orang miskin itu nanti hisabnya ringan. Itu salah satu doa Nabi,” Hanya itu
jawaban beliau.
Mendengarnya, saya
hanya mengangguk. Meski sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut. Adakah maksud
tertentu? Saya yang awam merasa bingung, kenapa isi doa ini terasa kontradiktif
dengan perintah lain yang malah menganjurkan umat Islam untuk kaya. Seperti naik
haji, mengeluarkan zakat, infak dan sedekah. Bahkan salah satu manfaat perintah
zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan.
Lalu tahun-tahun
berlalu, Abah Yai telah lama berpulang. Saya kembali teringat akan doa itu
dan mulai mencari jawaban. Mulai bertanya pada orang tua (ketika itu, Ibu masih
sehat), membaca referensi (maqom saya terjemahan ya, hehehe) sampai googling. Sedikit demi sedikit, Allah
membikin hati saya tercerahkan, tentu tak ada kontradiksi dalam agama yang
mulia ini. Akan saya tulis secara singkat di sini sebagai pengingat diri.
*
“Ya Allah hidupkanlah kami
dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah kami
kelak dengan orang-oarng miskin.”
Begitu terjemahan
doa yang dimaksud Abah Yai. Konon banyak umat Islam yang takut untuk
mengamalkan doa ini.
Ternyata setelah meninjau
pendapat para ulama tentang doa ini, sebagian besar mengatakan bahwa “miskin”
yang dimaksud bukanlah miskin dalam arti harfiah (Miskin secara harfiah berarti
kekurangan harta). Sebab secara fitrah, pastinya manusia ingin hidup dengan
baik, layak, menyenangkan serta tercukupi segala kebutuhan.
Imam Baihaqi,
Imam Al-Ghozali, Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab-kitabnya secara senada mendefinisikan “miskin” yang
dimaksud adalah sikap tawadhu’, tidak sombong dan khusyu’. Artinya: memohon agar memiliki sifat merendahkan diri di hadapan Rabb Yang Maha
Segalanya, dalam keadaan berhina diri serta khusyuk serta kelak dikumpulkan
dengan golongan orang yang tawadhu’ dan khusyuk.
Secara tersirat
doa tersebut juga mengajarkan bahwa kita tidak boleh sombong ataupun memandang
sebelah mata kepada orang miskin sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi sendiri.
Diriwayatkan, Baginda SAW adalah pribadi yang tidak pilih-pilih mana yang kaya
mana yang miskin, suka membantu, lembut dan selalu berada di pihak yang lemah
dan miskin. Jangankan terhadap fakir miskin dari kalangan muslimin, terhadap
pengemis Yahudi buta pun beliau memperlakukannya dengan lembut.
Baginda SAW
selalu menghibur orang miskin memiliki banyak keistimewaan. Salahsatunya adalah
bahwa kelak di hari perhitungan, proses hisab orang miskin tidak makan waktu
lama sehingga lebih cepat masuk surga. Mereka akan masuk surga 40 tahun lebih
awal. Bandingkan dengan orang kaya yang semakin banyak harta maka semakin lama
pula hisabnya.
Selain itu dari sisi
Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa), “miskin”
yang dimaksud adalah memohon agar tidak cinta dunia. Harta yang dimiliki hanya
sampai ditangan saja jangan sampai hati ikut mencintai. Seperti kata mutiara
dari Imam Ali Bin Abi Thalib yang banyak dikutip yaitu “Letakkan harta di
tanganmu bukan di hatimu.” Karena bila harta telah sampai di hati, maka keinginan
untuk berbagi menjadi lenyap. Yang ada malah tamak. Naudzubillah.
Rasulullah termasuk golongan orang kaya, milyarder di zamannya. Sebelum masa kenabian,
bersama istrinya, Khodijah, Nabi mengelola usaha dagang yang sekali berangkat,
kafilahnya terdiri dari ratusan unta yang mengangkut bermacam-macam barang
dagangan serta dikawal budak-budak pilihan.
Ketika Baginda
diangkat menjadi Nabi, Khodijah mengikhlaskan hartanya untuk digunakan sang
suami di jalan dakwah. Terutama di masa-masa sulit pemboikotan tehadap Bani
Hasyim selama tiga tahun oleh Kaum Quraysi.
Ketika hijrah ke Madinah, harta benda selalu mengalir ke tangan beliau
baik berupa ghanimah (rampasan perang) atau kiriman jizyah dari negeri-negeri
taklukan. Bila mau dan menghendaki, sebagai pemimpin negara bisa saja Nabi
membangun istana dan hidup mewah sebagaimana halnya Raja Persia atau Romawi
dengan istananya yang megah.
Tapi Nabi
memilih hidup sederhana dan dermawan serta menaruh sebagian besar harta yang
menjadi bagiannya itu kepada baitul mal. Pun bila menerima hadiah secara
pribadi, ahlus shuffah (orang miskin yang tidak memiliki rumah dan menetap di serambi
masjid Nabawi) adalah golongan pertama yang diberi oleh Nabi.
*
Kembali kepada
Abah Yai. Ingatan saya mencoba menghadirkan bayangan beliau di benak. Saya
yakin dengan pemahaman beliau yang mumpuni Abah Yai tentu paham dengan makna doa
ini.
Salah satu contoh
nyata adalah sarung. Jauh sebelum fisiknya semakin melemah karena usia, beliau
membagi habis semua sarung BHS yang dimilikinya kepada orang lain. Bukankah
sarung BHS adalah salah satu benda kesayangan beliau? BHS adalah sarung mahal
dan menjadi symbol status sosial di Madura.
Seakan-akan dengan membagi habis sarung kesayangan itu, beliau ingin mengikis habis kecintaan pada dunia sebelum nyawa sampai di leher. Seakan-akan beliau ingin meringankan langkah dan hisabnya. Lahul Fatihah.
Seakan-akan dengan membagi habis sarung kesayangan itu, beliau ingin mengikis habis kecintaan pada dunia sebelum nyawa sampai di leher. Seakan-akan beliau ingin meringankan langkah dan hisabnya. Lahul Fatihah.
Wallahua’lam.
Malang, Jumat
Berkah 2501209
Mbak, tulisanmu selalu penuh ilmu gini.
ReplyDeleteBaca ini jadi inget buku Daun yang Berserakan yg ngebahas kelebihan orang miskin (mungkin sebagai penghibur bagi mreka yg ksusahan harta) hehe
ReplyDeleteSebagai Renungan bagi saya sndiri
ReplyDeleteSubhanallah... Semoga kita bisa bersikap demikian...
ReplyDeleteAdem bacanya kak.... :')
ReplyDeleteRasululloh memang teladan yang patut dicontoh
ReplyDeleteTulisan bermakna sekali sekaligus jadi pengingat buat yang masih sehat ini ya, jadi kepikiran barang-barang koleksi di rumah hiks
ReplyDelete