Video
penembakan secara brutal dan tanpa tedeng aling-aling di masjid An-Nuur New
Zealand, yang disiarkan secara langsung oleh pelaku di internet, memang telah
diblokir dan tak bisa diakses lagi. Tapi dari video yang sudah terlanjur
menyebar ke seluruh dunia itu, kita bisa melihat aroma kebencian pelaku
penembakan terhadap kaum muslimin. Pernyataan kontroversial yang dilontarkan
salah satu senator Australia menguatkan aroma itu.
Senator
bernama Frasser Aning itu menuliskan cuitan, "Penyebab pertumpahan darah
sesungguhnya di jalanan Selandia Baru hari ini adalah program imigrasi yang
memungkinkan kaum Muslim fanatik untuk bermigrasi ke Selandia Baru."
Cuitan ini dilansir media Telegraph, Jumat (15/3/2019). "Penembakan hari
ini di Christchurch menyoroti ketakutan yang berkembang dalam komunitas kita
baik di Australia maupun Selandia baru atas meningkatnya keberadaan
Muslim," tulisnya dalam cuitan lain.
Dua
buah pernyataan yang terkesan rasis itu langsung menuai kecaman.
Rasa
takut dan kebencian terhadap Islam (dan kaum muslimin), yang lebih familier
disebut sebagai Islamphobia semakin menjadi semacam “doktrin” di dunia barat.
Meski istilah Islamphobia sendiri sebenarnya baru dicetuskan awal 1980 an dan
semakin membahana sejak peristiwa terror 11 September di New York pada 2001
silam, namun pada prakteknya Islamfobia telah terjadi sejak berabad yang
lampau. Bahkan sejak sebelum (Nabi) Muhammad diangkat sebagai Rasul.
Ingatkah
tentang peristiwa Muhammad kecil (usia 10 atau 12 tahun) yang ikut pamannya,
Abu Thalib, berniaga ke negeri Syam? Saat itu kafilah mereka sedang
beristirahat di dekat sebuah gereja di Busra. Seorang pendeta di gereja itu
yang bernama Buhaira melihat keanehan pada kafilah Quraysi. Pendeta itu sering
melihat kafilah dagang Quraysi lewat dan beristirahat di depan gerejanya, tapi
kali ini ia melihat keanehan yang tak biasa di sana.
Buhaira
mengundang kafilah itu untuk makan dan mulai mencari jawaban atas keanehan yang
mengusik hatinya. Singkat cerita, setelah bertanya ini itu pada semua anggota
kafilah, Buhaira menyimpulkan bahwa anggota termuda dalam rombongan itu adalah
calon Rasul terakhir yang berita kedatangannya telah dikabarkan dalam injil dan
taurat. Lalu Buhaira menyarankan kepada Abu Thalib untuk tidak melanjutkan
perjalanan dan membawa pulang Muhammad kembali ke Mekkah. Ia takut akan terjadi
apa-apa pada calon Nabi itu bila kaum Yahudi mengetahuinya. Apalagi Muhammad
bukan dari golongan mereka.
Loncat
pada masa awal kenabian di Mekkah. Ingatkah bagaimana kaum Quraisy sangat
membenci Nabi dan Islam? Mereka memusuhi Islam dan menyiksa pengikutnya dengan
pedih. Begitu juga ketika Nabi telah hijrah di Madinah. Tekanan kebencian tidak
hanya kaum kafir Quraysi, tapi juga dari kaum Yahudi di Madinah.
Banyak
sebab yang mendasari mereka membenci Islam. Bagi kaum Quraysi, salah satu
alasan adalah tidak ada kasta dalam Islam. Tradisi Arab jahiliyyah adalah
sangat mengagungkan nasab yang keterlaluan, sehingga mereka memandang rendah
orang lain yang tidak senasab. Islam datang dan menyatakan bahwa semua manusia
adalah sama dan merdeka, hanya ketakwaan yang membedakan di mata Allah. Satu
alasan lainnya adalah, mereka takut kehilangan kedudukan di tengah masyarakat.
Sedangkan
bagi kaum Yahudi dan Nasrani, salah satu alasan mereka membenci Islam adalah
karena Nabi terakhir yang dijanjikan akan datang bukan berasal dari kaum
mereka. Kaisar Romawi yang berkuasa saat itu (Kaisar Heraklius) bahkan
menyatakan,”Sungguh aku tahu, sahabatmu adalah seorang Nabi yang diutus, yang
kami tunggu serta kami tahu berita kedatangannya dalam kitab suci kami. Namun
aku takut orang-orang Romawi akan melakukan sesuatu terhadap diriku. Jika bukan
karena hal itu, aku pasti akan mengikutinya.”
Loncat
lagi menuju masa kekhalifahan Bani Umayyah. Ingatkah tentang peristiwa
pendudukan Andalusia, yang telah menjadi pusat peradaban di bawah Islam pada
tahun 1236 M oleh Fernando III seorang kaisar Katolik Spanyol.
Pendudukan
yang oleh barat disebut dengan penaklukkan ulang (recoinqista) itu berlanjut
dengan pemurtadan, penganiayaan dan pengusiran kaum muslimin dari Andalusia.
Saking bencinya pada Islam, pihak Fernando III mengubah semua masjid menjadi
gereja dengan semena-mena. Mereka menghancurkan kaligrafi yang menghiasi
dinding masjid dengan alasan menghapus jejak "intervensi Islam".
Sungguh frasa Intervensi Islam yang selalu didengungkan pihak Kekaisaran
Katolik Spayol inilah yang sangat berpengaruh pada generasi Andalusia berikutnya
untuk terus membenci Islam. Sehingga membutakan mata akan sejarah bahwa
Andalusia menjadi pusat ilmu justru ketika berada dalam pelukan Islam.
Lanjut
menuju masa Khalifah Bani Abbasiyah. Mulai perang salib yang panjang beserta pembuangan banyak kitab ke
sungai Tigris hingga diserangnya ibu kota Baghdad oleh
kaum Tartar.
Sejarah
mencatat bahwa Perang Salib pada abad pertengahan adalah perang yang sarat
sentimen agama dengan isu utama perebutan Yerussalem. Paus dan pihak geraja
mengeluarkan fatwa agar umat kristiani membantu Romawi merebut Yerussalem
sebagai kota kelahiran Yesus dari "penjajahan" Kekhalifahan Islam.
Padahal sejarah mencatat, justru Khalifah Umar bin Khattab menaklukkan
Palestina dengan damai dan memerdekan rakyat negeri itu dari tirani Romawi yang
kejam waktu itu.
Kita
lanjut menuju masa kekhalifahan Utsmaniyah. Sejak ditaklukkannya
Konstantinopel, wilayah Islam semakin luas di Eropa. Meski kekhalifahan Islam
memerintah dengan bijak dan menomorsatukan toleransi beragama tetap saja
kebencian pada Islam bercokol. Terutama di kalangan petinggi-petinggi Eropa (termasuk
pihak gereja) yang menjadi kehilangan kekuasaan. Ditambah lagi kenyataan bahwa
mereka kalah dalam perang salib.
Salah
satu bentuk kebencian mereka pada Islam adalah ketika pasukan Utsmaniyah
mengalami kekalahan di Wina di mana pasukan Islam dijadikan bulan-bulanan di sana. Sampai
sekarang, penduduk Wina masih sangat alergi pada hal yang berbau Turki Utsmani
dan mendiskriminasi imigran Muslim dari negara itu.
Sekarang
pada zaman modern ini, doktrin Islamfobia semakin kuat menghujam di dada orang
yang memang telah terjangkiti bibit kebencian. Apalagi tertangkapnya beberapa
"oknum Islam" yang terindikasi sebagai pelaku terorisme di berbagai
belahan bumi, semakin memperkuat anggapan bahwa Islam dan kaum muslimin adalah
agama teroris yang harus dibenci dan dibasmi.
***
Jumat
siang 15 Maret 2019 di Masjid An-Nuur Christchurch New Zealand.
Seorang
pemuda bernama Tarrant, masuk ke halaman masjid.
"Hello
Brother, Wellcome,"seorang tua yang belakangan diketahui sebagai imigran dari Afghanistan bernama Daoud
menyapanya ramah di pintu masjid.
Tapi
sapaan ramah itu malah dibalas dengan tembakan membabibuta oleh Tarrant (lihat
videonya). Lalu dengan pongah, pemuda itu melewati tubuh Daoud yang tergeletak
menuju bagian dalam masjid sambil terus memuntahkan pelurunya.
Daoud
bukannya tak tahu bahwa pemuda yang disambutnya memegang senjata, tapi ia
mendahulukan husnudzon terhadap tamu yang berkunjung ke rumah Allah.
Dalam
hal ini Daoud telah behasil menunjukkan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil alamin
seperti yang diajarkan Rasulullah.
Teriring
doa semoga kematian Daoud dan 40 lebih umat Islam yang meninggal di dua masjid
New Zealand tercatat sebagai syuhada. Dan semoga kita selalu diberi kemudahan
dalam rangka menunjukkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin pada dunia. Minimal di lingkungan terdekat di mana kita tinggal. Amin.
Malang, 16 Maret 2019
Tanpa tedeng itu apa
ReplyDelete