Antara Emas, Buku dan Parenting (1)
Saya yakin, mungkin di antara anda ada yang bertanya-tanya mengenai judul di atas?
Kalau buku, pastilah terkait erat dengan parenting, karena melalui buku-bukulah kita dapat membaca dan belajar banyak hal termasuk bbagaimana meningkatkan kualitas sebagai orang tua. Nah kalau emas? Ada tidak, ya, kaitan antara emas dan Parenting?
Baik, saya akan coba ulas sedikit, tentu sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya akan logam mulia ini.
Pastinya, banyak kisah tentang emas yang mungkin telah kita dengar dari orang tua kita dulu. Ya, umumnya orang tua zaman dahulu lebih suka menyimpan aset dalam bentuk emas. Bahkan ada istilah:
"Cokot-cokot alot."
Istilah tersebut berasal dari bahasa Jawa yang kalau diterjemahkan secara bebas bermakna: digigit tapi liat atau keras, sehingga tidak mudah habis. Karena memang begitulah emas, apalagi dalam bentuk perhiasan. Bisa kita pakai, pandangi dan nikmati keindahannya, tapi tak habis-habis.
Orang tua saya (baca: ibu), termasuk orang yang "gemar" membeli emas. Ada kelebihan belanja sedikit, dirupakan emas. Ada rejeki tak terduga, dapat arisan misalnya, atau honor-honor apa gitu (karena selain mengajar, ibu juga menulis, sesekali berdagang kain bordiran), dibelikan emas. Entah itu berupa cincin, anting-anting, gelang atau kalung, tergantung jumlah uang yang ada.
Biasanya ketika membeli perhiasan itu, selain untuk beliau pakai sendiri, secara bergantian ibu meniatkan untuk dua anak perempuannya. Misal bulan ini membeli cincin untuk kakak. Maka pada kesempatan berikutnya, bila ada rejeki lagi berarti ibu akan membelikan untuk saya. Begitu seterusnya.
Awalnya, Ayah kurang setuju dengan kebiasaan ibu membeli perhiasan. Mungkin takut dijambret atau gimana ya, atau buat apa, sih, numpuk-numpuk harta #eh?
Tapi setelah dijelaskan, kalau ini adalah salah satu cara untuk menabung, tepatnya berhias sambil menabung, Ayah mengerti bahkan mendukung. Toh selama ini, ibu tidak pernah absen berzakat atas uang atau emas yang dimilikinya. Meski dalam bentuk perhiasan, yang mana menurut pendapat ulama Syafiiyah tidak wajib dizakati, tapi beliau tetap mengeluarkan zakatnya. Semata sebagai bentuk rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan.
Apa yang dilakukan ibu ini, ternyata sangat berguna di masa-masa berikutnya. Ketika kami anak-anaknya membutuhkan biaya lebih untuk pendidikan, pernikahan atau pun lainnya, Ibu akan menjual perhiasan tersebut dan kami segera mendapat dana segar yang diperlukan.
Harga emas yang terus naik dari tahun ke tahun tentu sangat menguntungkan. Ini yang dipahami betul oleh ibu saya atau pun orang-orang tua kita dahulu. Beda lagi bila disimpan dalam bentuk uang tunai yang nilainya tetap bahkan bisa turun.
Saya ingat, kegemaran menabung emas ini juga memberikan manfaat besar, salah satunya adalah orang tua bisa membeli aset berupa sawah dan tanah yang kelak salah satu di antaranya, mereka wakafkan sebegai bekal di akhirat. Ini sungguh anugerah tak terkira mengingat Ayah dan Ibu saya bukanlah orang yang kaya-raya. Dengan mewakafkan aset tersebut, inshaallah, almarhum ayah dan ibu mendapat aliran pahala yang tak pernah berhenti. Aamien.
Ketika saya menikah, ibu juga menghadiahi saya seperangkat perhiasan terdiri dari kalung, cincin, anting-anting dan gelang.
Bila ditanya masih adakah semua perhiasan itu sekarang? Saya akan menjawab dengan diplomatis bahwa perhiasan tersebut sangat berguna bagi keluarga kecil kami dalam mengarungi pasang surutnya berumah-tangga hehehhe.
Begitu pun, saya juga diberi seperangkat perhiasan emas oleh mertua. Kebetulan saya berjodoh dengan suami yang latar belakang keluarganya juga gemar menabung emas. Dan lagi-lagi, bekal tersebut sangat berguna untuk kami.
Sepak terjang orang tua dan mertua ini sangat membekas di hati saya. Bahwa menabung dalam bentuk logam mulia itu betapa pentingnya. Istilah sekarang, sih, mengamankan aset dengan emas. Karena walau bagaimana pun nilai uang akan terus turun dan tergerus inflasi. Sedangkan emas sebaliknya, yang akan terus naik setiap tahun.
Memang sih, menabung emas itu bukan tanpa resiko, ya. Ibu saya pernah kehilangan perhiasan. Saya pun juga. Tapi ini tentu bukan penghalang untuk menabung emas. Anggap saja yang hilang memang bukan rejeki kita, dan untuk selanjutnya lebih berhati-hati dalam menyimpan.
Menabung emas itu, bila ditekati akan ringan. Sedikit demi sedikit, sesuai dengan kondisi keuangan. Yakin saja lama-lama akan menjadi bukit. Bisa ditukar dengan tanah bila sekiranya jumlah telah cukup. Pun emas bisa diuangkan dengan mudah jika sewaktu-waktu butuh, terutama untuk keperluan pendidikan buah hati. Anggap saja kita menabung emas salah satunya adalah sebagai persiapan atau backing dana untuk pendidikan putra-putri. Bukankah sebaik-baik investasi adalah pendidikan anak, semoga mereka menjadi anak-anak yang saleh-muslih, yang merupakan investasi akhirat.
Demikianlah, yang dapat saya ulas mengenai kaitan emas dan parenting (pengasuhan). Semoga ada manfaatnya.
Malang, 25 Desember 2020
#ParentingSharing
#BukuFulldaySchoolSejati
Comments
Post a Comment