Assalamualaikum pembaca yang budiman. Sebelumnya
saya ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota panitia yang
telah menyelenggarakan acara Upgrading Anggota Madya Forum Lingkar Pena pada
hari Ahad tanggal 15 Agustus 2021 yang lalu melalui media Zoom. Juga kepada
Ustadz Irfan Hidayatullah dengan materi Fiksi Berkeadaban dan Kang
Habiburrrahman (Kang Abik) dengan kajian kitab At-Ta’rif bil Adabita’lif. Sungguh, materi yang daging semua.
Semangat saya seolah kembali terbaharui saat menyimak ulasan beliau berdua.
Saya melangitkan doa semoga apa yang telah beliau sampaikan tercatat sebagai
amal kebaikan. Tulisan ini saya buat sebagai catatan atau resume dari materi tersebut.
Bahwa menulis adalah salah satu amalan
yang diganjar pahala jariyah, saya sudah mengetahuinya. Tapi kemarin, saat Kang
Abik mengkaji kitab At-Ta’rif bil
Adabita’lif, Adab-adab Dalam Mengarang, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi,
saya lebih tercerahkan lagi.
Saya semakin tercengang ketika diungkap, bahwa
dalam hal pahala jariyah di ilmu bermanfaat ~amalan yang tak terputus ketika seseorang meninggal ada tiga: sedekah
jariyah, ilmu bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendoakan orang tuanya ~
di antara dua hal: mengajar dan menulis/mengarang buku, maka yang paling
berpotensi mengalirkan pahala lebih lama dan kontinyu adalah menulis/mengarang
buku.
Pantas saja KH. Imam Zarkasy (salah satu
pendiri Pondok Pesantren Gontor) mengatakan, yang kurang lebih redaksinya
begini: Andaikata muridku tinggal satu,
akan tetap kuajar, yang satu ini sama dengan seribu. Andaikata yang satu ini
pun tak ada, aku akan mengajar dunia dengan pena. Merinding nggak, sih!
Kemudian dibeberkan juga bahwa menulis
buku adalah fardu kifayah bagi orang yang diberi waktu/kesempatan untuk
mutholaah (menelaah, mengkaji) terhadap suatu bidang ilmu, apalagi bila
seseorang itu akhirnya mencapai status ahli di bidangnya, maka sudah seharusnya
ia menulis. Saya jadi teringat akan kata bijak dari menantu Rasulullah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Karena bila ditulis, ilmu bisa dibaca ulang, direnungkan,
direvisi, diperbaharui sehingga berpotensi munculnya pengetahuan-pengetahuan
baru. Apalagi ilmu itu tidak boleh disembunyikan, harus disebarluaskan demi
kemaslahatan, melalui tulisan-tulisan.
Selama menyimak, saya tanpa sadar mengangguk-angguk terus dan merasa de javu dengan semua yang telah
disampaikan pemateri berdua. Bukan, bukan berarti saya merasa ahli dalam bidang
tertentu. Terlalu jauh itu :D. Maksudnya, ini berhubungan dengan cita-cita masa
kecil. Saya dulu pernah bercita-cita menjadi guru atau dosen. Ini tanpa alasan,
karena memang saya lahir di keluarga yang rata-rata menjadi pendidik. Karena
satu dan lain hal, saya akhirnya memilih menjadi guru di rumah sebagai al-ummu madrosatul ula J.
Tapi semua terasa terang benderang
sekarang, ternyata saya masih punya harapan untuk mewujudkan cita-cita lama
itu. Saya memang bukan guru atau dosen. Namun dengan
menulis saya tetap bisa “mengajar”. Saya bisa menuliskan apa pun yang ada di
benak, fiksi atau non fiksi (terutama di ranah fiksi yang saya minati), selama
masih dalam koridor kebaikan. Pepatah mengatakan bila satu peluru hanya bisa menembus
satu kepala, maka tulisan bisa menembus ribuan kepala dalam satu waktu. Ini
intinya.
Tentu, untuk menghasilkan tulisan yang
baik, saya harus banyak belajar dan membaca dan menulis review buku-buku yang
telah dibaca. Mereview buku sangat bermanfaat untuk melekatkan ingatan,
menambah wawasan dan perbendaharaan kata, yang mana semua itu sangat bermanfaat
dalam proses menuangkan ide dalam bentuk tulisan.
Selain kualitas tulisan, penulis harus
memperhatikan adab dalam menulis. Hal ini juga saya garisbawahi. Mengutip apa yang disampaikan Ustad Irfan, misal menulis nonfiksi, menulislah nonfiksi yang berkeadaban,
begitu juga bila hendak mengarang fiksi, maka ciptakanlah fiksi yang berkeadaban.
Apa sih berkeadaban itu? Berasal dari kata
dasar adab yang artinya memperhatikan kebagusan tutur kata dan tingkah laku (budi
pekerti). Menulis tanpa memperhatikan adab sama dengan zonk. Berdasar kitab Imam As-Suyuthi, Kang Abik mengungkapkan beberapa poin terkait adab dalam menulis, di antaranya
adalah:
1. Menulis
kebaikan.
2. Menulis
sesuatu yang belum pernah ditulis orang, kecuali pada buku atau kitab
sebelumnya belum ada pembahasan dari sisi tertentu.
3. Menciptakan
makna (yang bermanfaat dan inspiratif).
4. Memperhatikan
kebagusan baik secara maknawi dan estetika sastra. Boleh diambil salah satu,
akan lebih baik lagi bila memasukkan dua-duanya. Tapi, jika tidak bisa memasukkan
walau salah satunya saja, maka tulisan tersebut bisa dikatakan mubazir.
Demikianlah
catatan saya terkait materi yang disampaikan di acara Upgrading anggota madya
FLP. Semoga menjadi pelecut semangat dalam berkarya. Teriring doa, semoga Allah mengizinkan saya dan semua rekan penulis, untuk mengajar
dengan pena. Amien
Malang, 22 Agustus 2021
Terima kasih telah membaca.
Comments
Post a Comment