Kenapa Kehilangan Anak Meninggalkan Kepedihan Mendalam?
Sejak kabar wafatnya Emmeril Kahn tersiar luas, bahkan
sejak hilang di sungai Aare hingga akhirnya jenazah ditemukan dan dimakamkan di
Bandung, beberapa hari lalu, banyak kalimat bijak berseliweran di medsos
terkait pedihnya kehilangan anak.
Salah satunya adalah: “Ditinggal mati suami,
sebutannya janda. Ditinggal mati istri, disebut duda. Dtinggal wafat ayah,
disebut yatim. Ditinggal wafat ibu, disebut piatu. Tapi ditanggal mati anak,
tidak ada sebutannya, itu karena saking pedihnya.”
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Syekh Abdul
Hamid Asy-Syarwani dalam kitabnya:
Abu Bakrah ditanya tentang wafatnya keluarga. Ia
menjawab: "Wafatnya ayah seperti patahnya tulang punggung. WAFATNYA ANAK
adalah kepedihan dalam hati. Wafatnya saudara seperti putusnya sayap"
(Hawasyai asy-Syarwani, 3/179).
Saya jadi teringat peristiwa tahun 2005, ketika
keluarga kami kehilangan adik yang meninggal karena kecelakaan. Adik bungsu,
laki-laki, usia 21 tahun, sedang pinter-pinternya, gagah-gagahnya, tumpuan harapan
penerus perjuangan, pergi mendadak, begitu cepat tanpa firasat khusus.
Abah dan Umi saya, tampak begitu terpukul. Meski di
depan orang selalu tegar dan tersenyum, saya tahu kalau mereka sering menangis
di keheningan malam.
Pernah saya bertanya pada Umi, “Umi apakah umi belum ikhlas melepas adik?”
Bukan bermaksud apa-apa saya menanyakan hal tersebut
pada umi, melihat beliau menangis saja, saya tahu pasti remuk redam rasanya
kehilangan adik. Saya mungkin hanya ingin mengajak mengobrol, siapa tahu umi bisa
menuangkan lebih banyak gundah gulana, sehingga bisa sedikit membuang sesak di
dada.
Jawaban Umi waktu itu, kurang lebih redaksinya begini:
“Umi sudah ikhlas, semua ini hanya titipan. Cuma kadang-kadang Umi merasa, adik
itu sedang umi dekap, lalu diambil paksa.”
Makna tersirat dari jawaban Umi adalah, "Umi ikhlas,
cuma kadang umi lupa bahwa anak itu titipan."
Memang, bagi orang tua, anak adalah buah hati, sibiran
tulang, tumpuan harapan, belahan jiwa, darah daging dan banyak lagi istilah
lainnya. Apalagi bagi seorang ibu ya, bagaimana ia “membawa” anak dalam
rahimnya sembilan bulan, tanpa bisa ditaruh di meja walau sekejap. Mengandung
dengan wahnan ala wahnin, yang mana janin itu mendapat saripati makanan melalui darah sang ibu. Kemudian melahirkan dengan taruhan nyawa. Lanjut
menyusui dengan air susunya selama dua tahun, lanjut terus dengan merawat sang
anak dengan penuh kasih, disayang-sayang, dibuai-buai, ditimang-timang sampai
anak tumbuh besar, cantik/ganteng, pintar, berbakti.
Begitu juga seorang ayah, bekerja keras untuk bisa
beli susu, makan, dan sekolah sang putra-putri, darah dagingnya. Ayah
melakukannya dengan ikhlas tanpa merasa terbebani sedikit pun, sebagai tanggung
jawab dan kasih sayang pada anak tercinta, yang hadir ke dunia melalui
sulbinya.
Sebegitu besarnya pengorbanan ayah dan ibu, sehingga
terkadang menjadi “lupa” kalau darah daging itu, seperti hal lainnya di dunia
ini, adalah titipan.
Maka tak heran, bila kehilangan anak itu, walau
akhirnya sampai juga pada titik keinsyafan bahwa buah hati adalah titipan,
sangat begitu pedih, begitu hancurnya hati merasai kehilangan yang mendalam.
Bahkan sekelas Nabi pun juga menangis ketika kehilangan anak.
Nabi Muhammad SAW, ditinggal wafat semua anaknya (kecuali Fathimah ra) saat beliau masih hidup, mulai dari Qosim, Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kultsum, Abdullah hingga Ibrahim. Sayyid Qosim meninggal sebelum masa kenabian, sedangkan Sayyid Abdullah, Sayyidah Ruqoyyah, Sayyidah Zainab, Sayyidah Ummu Kultsum dan Sayyid Ibrahim, secara berurutan, wafat pada masa kenabian. Menurut riwayat, Nabi pun menangis tersedu saat mengantar putra-putrinya ke liang lahat.
Pantas saja, jika Allah menjanjikan surga bagi orang
tua yang ikhlas dan bersabar ketika kehilangan anak.
Demikianlah, wallahua’lam bisshowab. Teriring doa
semoga kita selalu dimudahkan segala urusan, beruntung dan dikaruniai husnul
khotimah.
Malang, 14 Juni 2022
Nazlah Hasni
Comments
Post a Comment