Tulisan singkat ini saya tulis, salah satu tujuannya adalah untuk menanggapi sebuah tulisan viral di sebuah komunitas menulis. Mungkin agak telat, ya. Tapi, yah, daripada tidak sama sekali.
Jadi beberapa hari lalu ada sebuah tulisan tentang suami
istri, sang suami mengatakan bahwa istrinya, berbeda dengan anak, adalah orang lain yang kebetulan
saja dia urus. Makanya si suami tidak mau berterus terang berapa
penghasilannya, berapa tabungannya kepada si istri. Setiap bulannya, si suami
hanya memberi belanja sekian rupiah kepada si istri. Apa pun yang terjadi,
pokoknya ya itu jatahnya.
Sontak saja tulisan itu menuai banyak komentar dan share.
"Kok, bisa suami bilang istrinya adalah orang
lain," atau "Kok, tega ngomong
kayak gitu," dan komentar lain
senada. Bila ingin membaca tulisan tersebut, sebagai pelajaran, Anda bisa buka
link yang saya sisipkan di kolom komentar di bawah.
Bahkan nih, tulisan ini sampai-sampai masuk akun gosip
paling hits, Lambe turah.
Nah, mari kita sekarang bahas sedikit tentang istilah
"orang lain" yang dijadikan "senjata" oleh tokoh suami
dalam tulisan tersebut.
Anda sudah pasti tahu istilah mahrom, kan? Mahrom adalah
orang yang haram dinikahi. Siapa saja?
Untuk laki-laki, mahromnya adalah: nenek, ibu, saudara
perempuan, anak perempuannya, bibi dari
pihak ayah maupun ibu, anak perempuan
saudaranya, cucu perempuan.
Ada juga yang mahrom karena
penyusuan: ibu-ibu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan, saudara perempuan ibu sepersusuan, anak-anak
perempuan dari saudara sepersusuan.
Untuk perempuan, mahromnya adalah: kakek, ayah, saudara
laki-laki, anak laki-lakinya, paman dari pihak ayah maupun ibu, anak laki-laki
saudaranya.
Begitu juga yang mahrom karena penyusuan: ayah susu, saudara
laki-laki sepersusuan, paman dari ibu dan ayah susu, anak laki-laki dari
saudara sepersusuan. Dalam sebuah hadist disebutkan, penyusuan menjadikan haram
apa yang haram karena hubungan kelahiran.
Di depan mereka yang termasuk dalam golongan mahrom
tersebut, kita bebas membuka aurat, boleh melepas jilbab misalnya, dan bila
berwudhu kemudian bersentuhan, baik tidak sengaja maupun sengaja, tidak
menyebabkan batal.
Jelas, kan, ya? Jadi saya ulangi, mahrom adalah orang yang
haram dinikahi. Bila ada salah mohon dikoreksi.
Lalu, orang-orang yang tidak masuk dalam golongan mahrom,
disebut dengan ajnabi atau orang lain. Di depan ajnabi, seperti telah diketahui
bersama, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang diharamkan. Contohnya membuka
aurat, dan bila punya wudhu kemudian bersentuhan dengan mereka, akan batal
wudhunya.
Yang paling subtansial, orang-orang selain mahrom yang
disebut ajnabi atau orang lain tadi, adalah jelas boleh dinikahi. Jadi seorang
laki-laki boleh menikahi perempuan ajnabiyah dan seorang perempuan boleh
menikahi laki-laki ajnabi.
Ketika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, hal-hal
yang dulunya haram dilakukan kini menjadi halal. Seperti membuka aurat, hidup
serumah, bersentuhan, berci*man hingga
yang lebih dari itu, halal sudah. Sah.
Meski demikian tetap perlu diingat, menilik dari definisi
mahrom dan ajnabi di atas, pernikahan tidak mengubah status istrinya dari
ajnabiyah menjadi mahrom. Istrinya sudah halal "diapa-apain" tapi
tetap ajnabiyah alias "orang lain". Yah, kalau mahrom, mah, kan nggak
boleh dinikahi 😃.
Oke lanjut, ya.
Makanya dalam Madzhab Syafii, mengutip penjelasan Gus
Baha, wudhu kita menjadi batal jika
memegang atau tak sengaja menyentuh suami/istri dan harus mengulang wudhu
kembali. Ini disebankan karena status ajnabi ini. Apalagi, maaf, misalnya
terjadi perceraian, tentu banget akan menjadi ajnabi, kembali seperti sedia
kala.
Tapi yang perlu distabilo, bahwa pernikahan adalah
perjanjian kuat antara seorang laki-laki dengan Allah yang disebut Mitsaqon
Gholidzo.
Mitsaqon Gholidzo itu bukan perjanjian main-main, Gaes.
Ketika seorang laki-laki mengambil seorang gadis dari ayahnya dengan ijab
kabul, tahu nggak kalau ijab kabul yang dirapalnya itu sanggup menggetarkan
Arsy?
Saking sakralnya, sampai-sampai Allah menyamakan perjanjian
dalam pernikahan dengan ketika Dia mengambil perjanjian dengan para Nabi.
Ngeri nggak, tuh? Ternyata kuatnya perjanjian yang dirapal
seorang laki-laki ketika ijab kabul,
sama kuatnya seperti perjanjian para
Nabi dengan Allah.
Hanya laki-laki sejati yang sanggup menggigit erat-erat
mitsaqon gholidzo dengan gerahamnya.
Dalam Al-Quran, telah disebutkan, ada tiga perjanjian sakral
yang disebut mitsaqon gholidzo (perjanjian kuat).
1. Perjanjian pernikahan (QS. Annisa 21)
2. Perjanjian Allah dengan kaum Yahudi (QS. Annisa 154)
3. Perjanjian Allah dengan Para Nabi (QS, Al -Ahzab 7)
Jadi tanggung jawab dalam pernikahan, terutama untuk
laki-laki bukan sekedaran. Suami itu
Imam, bertugas membimbing, mengajari, melimpahi kasih sayang, memberi nafkah
lahir dan batin yang layak (sesuai kemapuan). Pokoknya sebagai pemimpin,
laki-laki wajib membawa istri dan keluarganya menuju surga.
Begitupun istri, memiliki tugas tersendiri yang harus
ditunaikan sesuai hak dan kewajibannya. Melayani suami, mengandung, melahirkan,
menyusui dan mendidik anak--anak. Tidak berbuat maksiat dan selalu mengharap
ridho suaminya.
Dalam rumah tangga, suami dan istri memiliki hak dan
kewajiban yang berprinsip kesalingan. Saling menghargai, saling menghormati,
saling membantu, saling mengingatkan, saling mempercayai dan saling-saling
lainnya di mana kedua pihak sama-sama mendapatkan keuntungan, kepuasan, ketentraman,
kebahagiaan.
Jangan sampai yang satu untung, tapi yang lain buntung.
Naudzubillah.
Mitsaqon Gholidzo seharusnya memahamkan kita, terutama
laki-laki sebagai imam, bahwa pernikahan bukan hanya penghalalan terhadap yang
haram.
Tapi lebih dari itu. Jauh melampaui itu. Dangkal banget bila
suami masih menganggap istri sebagai "orang lain". Padahal ia telah
mengambilnya sebagai istri dengan nama Allah dengan sumpah yang kuat. Padahal
ia telah mendatangi istri dan menggauli kapan pun ia mau. Padahal istri telah
rela mengandung, melahirkan, menyusui darah dagingnya, keturunan yang akan
mendoakan kelak, dengan taruhan nyawa.
Sungguh pernikahan adalah hubungan yang bukan sehari dua.
Suami istri adalah pakaian bagi masing-masing, teman seperjalanan, berbagi
suka, keluh kesah, cerita, sahabat paling setia dan memahami, apabila yang satu
terjatuh yang lain membantu berdiri.
Pantaslah jika pepatah Jawa mengatakan suami atau istri
adalah sigaraning nyawa.
Maka bagi suami-suami terbaik di muka bumi, saya ucapkan
terimakasih telah menggenggam kuat mitsaqon gholidzo di tanganmu. Semoga
keluarga kita semuanya diberkahi.
Malang, 12 Agustus 2020
22 Dzulhijjah 1441
Nazlah Hasni
Khodimatul Majelis El-Hamidy
Comments
Post a Comment