Merekonstruksi Makna Kalimat: Rejeki Sudah Tertakar dan Ada Yang Mengatur
Oleh: Nazlah Hasni, Khodimah Majelis Taklim El-Hamidy
Disclaimer: Tulisan ini agak panjang .
Sebelumnya, perlu saya jelaskan sedikit kenapa pada judul di atas, saya memakai kata rekonstruksi? Kok bukan yang lain, misal merombak? . Ketika melakukan pemeriksaan di KBBI, saya menemukan arti rekonstruksi sebagai penyusunan kembali. Kalau merombak kan, artinya adalah merusak yang lama yang kemudian dibangun atau diganti yang baru. Ya, mungkin hampir sama sih maknanya, tapi dalam artikel ini saya lebih cocok pakai kata rekonstruksi.
Untuk kata konstruksi-nya sendiri memiliki arti: susunan. Maka secara istilah, rekontruksi adalah pembentukan kembali atau penyusunan ulang untuk memulihkan yang awalnya tidak benar menjadi benar.
Jadi pada tulisan singkat ini, kami ingin mengajak kita untuk merenungi dan merekontruksi kembali apa maksud dari: Rejeki sudah ada yang mengatur dan menakar. Semoga ada manfaatnya, mohon koreksi jika terdapat kesalahan.
Baiklah, mari to the point. Tak dipungkiri jika masih banyak di antara kita (termasuk saya) yang memaknai konsep “Rejeki sudah ada yang mengatur dan sudah tertakar” dengan pemahaman yang sempit ~ jika tidak bisa dikatakan salah ~.
Sehingga terjebak pada sikap “pasrah” yang tidak pada tempatnya, yang pada akhirnya enggan berusaha atau berjuang karena memahami bahwa rejeki sudah ada yang mengatur dan menakar.
Tentu, sebagai orang yang beriman, kita haqqul yakin, memang benar rejeki itu sudah ada yang mengatur dan menakar.
Siapa yang mengatur dan menakar?
Jawabnya tak lain tak bukan: Tuhan. Tuhan yang Maha Digdaya-lah yang mengatur semua sistem berjalan dengan semestinya di alam raya ini, termasuk dalam hal pembagian rejeki.
Hal ini sudah dijelaskan secara gamblang dalam beberapa ayat Al-Quran dan al-hadist.
Salah satunya adalah pada QS Hud Ayat 6: “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Sampai di sini, kita sepakat dan sepaham, bahwa Tuhan yang mengatur dan menakar semua rejeki setiap makhluk di di alam raya tanpa terkecuali.
Tapi, kemudian, banyak sekali pikiran yang terlintas. Beraneka macam pokoknya, bahkan dari berbagai aliran pemahaman.
Misalnya saja kalimat pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang motivator di negeri ini yang berbunyi: “Rezeki itu diatur Tuhan, katanya. Tapi ateis seperti Elon Musk itu bisa kaya raya. Artinya? Apakah Tuhan suka sama ateis?”
Nendang banget ini pertanyaannya? Eh ini tepatnya pertanyaan atau pernyataan, sih?
Nah, kalau nggak kuat iman, pemahaman kita bisa saja “bergeser”. Ya, toh?
Atau di sisi lain, ada orang yang bisanya hanya mendesis pelan sambil menghibur hati, (padahal sebenarnya meratap) lalu berkata, “Rejeki udah diatur Tuhan.”
Atau ada lagi yang juga tak kalah ekstrim, “Jika Allah sudah mengatur rejeki, kenapa kita harus bekerja?”
Nah, lho?
Jadi, bagaimanakah sebenarnya konsep "Tuhan mengatur dan menakar rejeki tiap-tiap hambanya", bekerja?
Jawaban paling masuk dalam nalar, logis, atau diterima akal sehat adalah, Tuhan mengatur dan menakar rejeki hambanya, berdasar ikhtiyar masing-masing hamba. Sunnatullah-nya begitu.
Mari kita perhatikan dan renungi panduan lain dalam Al-Quran pada An-Najm ayat 39-42. Ke empat ayat tersebut, secara berurutan berbunyi:
"Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, bahwa sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian dia akan diberi balasan atas (amalnya) itu dengan balasan yang paling sempurna, bahwa sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)."
Berdasar 4 ayat tersebut telah dijelaskan bahwa:
1. Manusia memperoleh apa yang telah diusahakannya (ayat 39).
2. Sesungguhnya usahanya itu akan diperlihatkan kepadanya (ayat 40).
3. Manusia akan mendapat balasan sesuai apa yang diusahakannya (ayat 41).
4. Tuhan Semesta Alam yang Maha Kuasa dalam mengatur sesuatu yang mana kepadaNya segala urusan berakhir dan kepadaNya-lah segala sesuatu akan kembali, kelak di hari akhir.
Selain ayat-ayat Al-Quran dan hadist sebagai sumber hukum paling utama, kita juga mengenal konsep-konsep kearifan hidup di masyarakat, yang mana kearifan ini mengkristal dari pengalaman hidup bertahun-tahun. Yaitu:
1. Hukum tabur tuai: siapa yang menabur akan menuai, siapa yang menanam akan memanen. Bila tidak menabur, tidak akan menuai. Jika tidak menanam tidak akan memanen.
2. Man Jadda wajada: siapa yang bersungguh-sungguh, dia pasti berhasil.
3. Pokok obah mesti hasil maksud.
4. Bergeraklah terus, walau pelan, ini akan membuatmu sampai pada tujuan. Jangan diam saja.
5. No pain no gain.
6. Sopo tekun, bakal tekan.
Dan banyak lagi lainnya.
Apa yang kita usahakan, itulah yang kita dapat. Dan memang berdasar konsep inilah sunnatullah bekerja. Sunnatullah adalah istilah yang menggambarkan ketetapan Allah untuk meletakkan hukum-Nya di atas segala ciptaan di langit dan bumi (termasuk dalam hal hukum pembagian: pengaturan dan penakaran rejeki). Dalam bahasa akademis, istilah sunnatullah dikenal sebagai hukum alam.
Karena hukum alam ini meliputi semua makhluk, maka siapa pun dia, dari suku mana, agamanya apa, atheis sekali pun, jika rajin berikhtiyar, pasti akan mendapat hasil yang sepadan. Usaha tak akan mengkhianati hasil, begitu katanya.
Untuk melengkapi dan lebih mempertajam proses rekonstruksi makna ini, saya sertakan pula definisi dari mengatur dan menakar berdasar KBBI.
Menyusun adalah: membuat susunan menjadi rapi, proses memilah-milah untuk ditempatkan sesuai klasifikasinya/kelasnya.
Menakar adalah: (1) mengukur banyaknya barang cair, beras, dan sebagainya. Contoh: menakar minyak dengan literan."
(2) membatasi jumlah. Contoh: kita harus menakar jatah mereka dengan adil.
Sekarang coba kita terapkan definisi-definisi tersebut dalam realita hidup.
Mengatur. Contoh, Seorang Pimpinan di sebuah perusahaan, akan memilih, memilah-milah dan mengatur karyawannya untuk ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai kualitas dan klasifikasinya. Yang memiliki skill, kecakapan, public speaking, dsb pasti akan ditempatkan di posisi yang tinggi. Semakin ahli, maka jabatan atau posisi semakin naik. Dengan demikian, otomatis gaji yang didapat pasti juga sepadan.
Menakar. Contoh: bila anda membeli gula, maka pedagang akan menakar gula sesuai uang yang anda bawa. Misal, anda membawa uang yang cukup untuk 1 kg saja, ya sejumlah 1 kg -lah, takaran gula yang anda dapat. Semakin banyak jumlah uang, maka semakin banyak pula gula yang bisa anda bawa pulang.
Jadi, bisa disimpulkan Allah itu mengatur dan menakar rejeki setiap hambanya sesuai kepantasan hambanya, yang mana kepantasan itu terjadi karena proses ikhtiyar dan kesungguhan.
Demikianlah; Wallahua'lam bis showab.
Semoga selalu dimudahkan, ya, kitanya.
Semoga kita dan anak2 selalu dilimpahi sehat, bejo, mulia, sukses dunia akhirat
Comments
Post a Comment