Cintaku Terbang Bersama Paket: Kisah Ibu dan Kang Santri

                                Cintaku Terbang Bersama Paket: Kisah Ibu dan Kang Santri

Ditulis oleh: Nazlah Hasni


You Are Accepted!

Saat itu medio Juni 2018 bertepatan dengan Syawal 1438 H. Aroma lebaran belum sepenuhnya hilang, bahkan kami masih ada agenda mengunjungi beberapa sanak kerabat. Tiba-tiba masuk sebuah pesan whatsapp dari salah satu guru anak kami, mengabarkan berita bahwa putra kami, Mubarok, diterima di Pondok Modern Darussalam Gontor dengan penempatan di kampus pusat di Gontor, Mlarak, Ponorogo. Alhamduillah, puji syukur. Tak menunggu lama, kami segera bersiap-siap untuk mengantar nak lanang berangkat ke ponpes Impian.

Maka sejak saat itu, setiap sebulan atau dua bulan sekali, sebagaimana lazimnya orang tua yang anaknya lagi nyantri, berangkatlah kami ke Gontor untuk sambang si Kacong (panggilan atau sebutan anak laki-laki). Kunjungan rutin ini benar-benar bisa mengobati kerinduanku pada buah hati. Biasanya aku akan membawakan makanan kesukaan dan barang-barang kebutuhan yang telah dipesan Mubarok melalui telepon, beberapa waktu sebelumnya. Setelah lapor pada petugas penerima tamu, kami pun menunggu si anak dipanggil. Tak lama, datanglah kacong bersama teman-temannya.

"Ma, Barok bawa rombongan," kata anakku senyam-senyum dan ujung mata yang melirik teman-temannya. Di belakangnya mengekor 10 anak laki-laki dengan gaya pakaian santri, sarung dan kopyah, dan pringisan khas remaja tanggung, saling sikut satu sama lain sambil setengah menunduk.

"Assalamualaikum, Ibu!" Kata mereka kompak yang kubalas pringisan juga. Tak kalah ramah.

"Ayo, duduk. Kita makan enak sekarang!" Ajakku tanpa basa-basi.

Lalu mereka duduk dan dengan tertib mulai mengambil makanan dan makan. Walau sambil ndusel-ndusel juga sih, hehehe. Sungguh senang melihat mereka makan dengan lahap. Sebentar saja setumpuk makanan itu tandas tak bersisa.

"Terima kasih, Ibu!" Koor mereka kompak. Lalu setelah salim mereka pamit kembali ke kelas atau asrama melanjutkan kegiatan.

Namun siapa menduga jika kemudian pandemi COVID-19 melanda dunia. Sejarah mencatat jika rentang tahun 2020-2022, sebagai puncak pandemi. Kondisi tersebut banyak membawa perubahan dalam kehidupan kita. Pemerintah pun memutuskan banyak kebijakan terkait penanggulangan pandemi. Yang paling terasa adalah, penutupan sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kemudian disusul kebijakan mewajibkan murid-murid TK s/d SMA serta mahasiswa belajar daring dari rumah, para karyawan diminta work from home, belanja dilakukan secara online, serta lockdown dan jam malam berlaku di mana-mana. Termasuk kebijakan yang mengharuskan pesantren-pesantren sementara waktu untuk tidak menerima sambangan demi mencegah penyebaran virus. Pihak Pesantren Gontor pun sama, meniadakan kunjungan.

Larangan ini tak ayal membuatku dihinggapi rasa khawatir dan cemas. Bayangkan, selama berbulan-bulan, aku tidak bisa melihat dan memeluk anak tercinta. Rasa rindu itu semakin menjadi ketika bulan Ramadhan tiba. Biasanya, di bulan suci tersebut, kami berbuka puasa bersama. Tidak cukup di situ, benakku juga penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang berjejal di pikiranku.  Bagaimana keadaan Mubarok di sana? Apakah dia mendapatkan makanan yang cukup dan bergizi? Bagaimana jika terpapar virus? Namun, aku sadar bahwa aturan ini dibuat demi kebaikan bersama, termasuk untuk melindungi anak-anak kita dari ancaman COVID-19. Kita sebagai orang tua wajib mendukung kebijakan Pak Kyai.

Paket Untuk Kang Santri

Dalam segala keterbatasan yang ada, Alhamdulillah aku menemukan solusi. Kalau biasanya aku yang datang sendiri ke pondok untuk membawakan makanan dan barang-barang kebutuhannya, kali ini aku akan mengirimkan paket kepada Mubarok. Dengan semangat aku mencari tahu tentang regulasi pengiriman paket ke pesantren, termasuk jenis barang yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Setelah itu, aku mulai memilih ekspedisi pengirimnya. Beruntung, ada jasa pengiriman seperti JNE yang tetap beroperasi meski dalam kondisi pandemi. Maka mulailah aku secara rutin mengirimkan berbagai kebutuhan Mubarok, mulai dari makanan kesukaannya, perlengkapan belajar, hingga obat-obatan dan vitamin. Setiap kali menyiapkan paket, aku selalu membayangkan senyuman anakku saat menerima kiriman dari ibunya. Tak lupa, aku juga menyelipkan surat berisi kata-kata sayang, penyemangat dan doa-doa untuknya. Yah, sebagaimana romansa antara ibu dan anak, begitu.

Aku ingat betul, setiap kali paket tiba di pesantren, Mubarok akan menelepon atau mengirim pesan singkat melalui hape pondok, berisi ucapan terima kasih dan cerita tentang bagaimana paket tersebut membuat harinya lebih baik. "Mama, terima kasih banyak! Makanannya enak sekali, teman-temanku juga suka," begitu tulisnya dalam salah satu pesannya. Kata-kata sederhana tersebut cukup untuk membuat hatiku hangat dan tenang.

Selain mengirim paket ke pondok pesantren, tantangan lain muncul ketika Mubarok harus menjalani masa pengabdian selama satu tahun di sebuah desa di Sumatra Barat. Tentu, aku tidak ingin Mubarok merasa kesepian di sana. Dengan bantuan JNE, aku tetap bisa mengirimkan paket berisi makanan, buku, dan kebutuhan lainnya meski ke pelosok Sumatra. Proses pengirimannya memang memakan waktu lebih lama dan biaya yang lebih mahal, tetapi demi putra kesayangan, semua itu sepadan.

Pengalaman mengirim paket selama pandemi ini memberikanku pelajaran berharga tentang kasih sayang dan perhatian yang bisa disampaikan dalam bentuk sederhana. Bagiku, mengirim paket bukan hanya tentang mengantarkan barang. Lebih dari itu, paket tersebut merupakan simbol cinta, kasih sayang, dan dukungan seorang ibu kepada anaknya. Meski tidak bisa bertemu langsung, aku merasa tetap dekat dengan Mubarok melalui setiap paket yang kukirimkan. Setiap kiriman adalah bukti cinta dan dukunganku yang tak terbatas oleh jarak atau keadaan. Di balik setiap paket yang kukirim, terkandung doa dan harapan agar anakku selalu sehat, bahagia, dan sukses dalam meniti jalannya.

Kini, ketika pandemi sudah mulai mereda, aku tetap mengingat masa-masa sulit tersebut dengan rasa syukur. Aku berterima kasih kepada JNE yang telah menjadi perantara kasih sayang antara aku dan anakku. Lomba menulis yang diadakan JNE dalam rangka HUT ke-33 ini memberikan kesempatan bagiku untuk berbagi cerita tentang betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga hubungan keluarga di masa yang penuh tantangan.

Melalui cerita ini, Aku berharap bisa memberikan inspirasi kepada ibu-ibu lain yang mungkin sedang mengalami hal serupa. Pandemi mungkin memisahkan kita secara fisik, tetapi tidak pernah bisa memutuskan kasih sayang dan perhatian kita sebagai orang tua. Dengan kreativitas dan teknologi, kita bisa tetap dekat dengan anak-anak kita dan memberikan mereka dukungan dan kebahagiaan yang mereka butuhkan, di mana pun mereka berada.

Salam Kreatif dan Terima Kasih

 

#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya

Comments