Samsul Husen: Menginspirasi Perubahan dalam Pengasuhan dengan Sekolah Calon Ayah dan Sekolah Calon Ibu

"Menjadi orang tua itu seumur hidup." (Samsul Husen) 

Menjadi ayah atau ibu, adalah tugas mulia yang ada di muka bumi. Sebab peran ini berkaitan erat dengan pembinaan generasi sebagai khalifah di muka bumi. Saking penting dan mulianya tugas orang tua, sampai-sampai kalam bijak para ahli ilmu mendefinisikan: ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya, dengan ayah sebagai kepala sekolahnya. Hal ini menyiratkan bahwa kedua orang tua, Ayah dan Ibu, memiliki tugas dan fungsi yang saling melengkapi dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, sehingga anak-anak dapat tumbuh alami sesuai kodrat dan sehat jiwa raganya. Maka, mempersiapkan diri dan terus belajar tuada henti agar bisa menjadi orang tua yang semakin baik adalah sebuah keharusan. Apalagi tantangan pengasuhan dari zaman ke zaman, berbeda dan lebih berat. 

Salah satu masalah pengasuhan yang menjadi perhatian dunia adalah fatherless. Don Browning dari Universitas Chicago mengatakan bahwa "fatherless" atau ketidakhadiran ayah, berarti ayah tidak berperan dalam kehidupan anak baik dari segi finansial, emosional, maupun fisik. Banyak hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya fatherless. Yang paling umum, karena perceraian sehingga membuat anak diasuh oleh orang tua tunggal, biasanya ibu. Kemudian, di beberapa negara, perawatan kesuburan untuk wanita lajang dan donasi embrio menjadi sangat diminati sehingga banyak ibu tunggal dan anak-anak tanpa ayah. Di Afrika, ketidakhadiran ayah sering terjadi karena ibu tidak menyebutkan keberadaan ayah atau tidak mendapat dukungan dari ayah kandungnya.

Pun Indonesia, negara dengan populasi yang besar dan beragam, juga menghadapi tantangan sosial yang signifikan terkait dengan fenomena fatherlessMenurut data dari Badan Pusat Statistik, sebagian besar anak usia dini di Indonesia tinggal dengan kedua orang tua. Namun, meskipun angka ini tinggi, banyak anak yang tidak mendapatkan pengasuhan yang memadai dari kedua orang tua. Dalam sebuah survey online yang dilakukan beberapa tahun lalu pada sebagian keluarga Indonesia,  menyatakan bahwa Indonesia dianggap sebagai negara di mana kehadiran seorang ayah tidak ada secara emosional-spiritual. 

Selama ini, istilah "fatherless" sering diartikan sebagai ketiadaan ayah secara fisik dalam kehidupan anak. Namun, menurut beberapa ahli, ketidakhadiran ayah dapat juga terjadi jika ayah hanya hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat secara emosional dalam kehidupan anak. Banyak anak mengalami "fatherless" meskipun ayah mereka ada secara fisik di rumah. Terutama disebabkan oleh kurangnya perhatian dan keterlibatan emosional ayah, yang seringkali dipengaruhi oleh budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia.

Budaya patriarki di mana peran dan otoritas laki-laki lebih dominan, masih sangat kental di banyak bagian Indonesia. Budaya ini, secara tak langsung, sangat memengaruhi cara pengasuhan anak.  Dalam struktur keluarga tradisional, ayah berperan sebagai pencari nafkah utama. Akibatnya, banyak ayah merasa bahwa mereka tidak termasuk dalam tugas pengasuhan dan pendidikan anak secara langsung. Mereka menganggap istri-lah yang harus bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Para ayah tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan untuk merawat anak dengan baik, yang mengakibatkan keterlibatan emosional yang minim dengan buah hati.

Padahal secara religius~termasuk dalam ajaran Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia~ telah disebutkan bahwa sosok Ayah berperan penting dalam pembentukan karakter anak. Dalam Alquran, justru yang paling sering diceritakan adalah dialog ayah dan anak. Contohnya surat Luqman yang merekam dialog berupa nasihat penuh kasih sayang seorang ayah bernama Luqman pada sang anak. Kemudian di zaman modern, telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keterlibatan emosional ayah sangat penting bagi perkembangan anak. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dan dukungan emosional dari ayahnya cenderung mengalami masalah emosional dan sosial, seperti rendahnya rasa percaya diri, kesulitan dalam hubungan sosial, dan prestasi akademis yang menurun.

Sedangkan Ayah yang terlibat dalam pengasuhan dapat membantu anak-anak merasa lebih aman dan mendukung mereka dalam mengeksplorasi dunia sekitar mereka. Ayah yang aktif dalam kehidupan anak-anak, tidak hanya membantu membentuk masa depan yang lebih cerah tetapi juga memperkuat hubungan keluarga secara keseluruhan. Ayah dapat menjadi teladan bagi anak-anak dalam banyak aspek kehidupan, seperti disiplin, etika kerja, dan nilai-nilai moral.

Dengan terlibat dalam pendidikan anak, ayah dapat memberikan dorongan akademis yang lebih kuat. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan ayah yang terlibat aktif dalam pendidikan mereka cenderung memiliki prestasi akademis yang lebih baik. Selain itu, ayah juga dapat mengajarkan keterampilan hidup yang penting, seperti pemecahan masalah, keterampilan sosial, dan pengelolaan emosi.

Ayah yang terlibat juga berperan dalam melawan stereotip gender dengan menunjukkan bahwa peran pengasuhan bukan hanya tanggung jawab ibu. Dengan berbagi tanggung jawab dalam pengasuhan, ayah membantu menciptakan lingkungan keluarga yang lebih egaliter dan mendukung perkembangan anak-anak yang lebih seimbang.

Menuju Perubahan Positif

Mengatasi berbagai fenomena pengasuhan memerlukan upaya kolektif dari masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Menanggapi kebutuhan akan perubahan paradigma pengasuhan di Indonesia, Samsul Husen dari Sleman Yogyakarta mendirikan sebuah lembaga belajar khusus orang tua. Tidak hanya untuk para ibu, namun juga menyasar para ayah sebagai salah satu ikhtiyar meminimalisir fenomena dan dampak buruk dari fatherless.  Samsul Husen menamakannya sebagai "Sekolah Calon Ayah" dan "Sekolah Calon Ibu". Inisiatif ini bertujuan untuk mendidik calon ayah dan ibu, serta mereka yang sudah menjadi orang tua, tentang pentingnya peran aktif dan emosional dalam pengasuhan anak.

"Menjadi orang tua  itu seumur hidup." Kalimat inilah yang selalu didengungkan Samsul Husen untuk memotivasi para orang tua agar tak pernah lelah belajar. Dengan terus belajar, diharapkan orang tua bisa selalu memperbaiki kualitas dirinya demi anak-anak. Orang tua pembelajar, akan lebih smart, bijak dan tidak mudah kemrunsung ketika menghadapai berbagai tantangan pengasuhan yang timbul. Tentu hal ini akan berpengaruh positif pada perkembangan anak. 

Kegiatan di Sekolah Calon Ayah

Sejak didirikan pada tahun 2014, ratusan ayah dan ibu telah mendapatkan pelajaran dari sekolah ini. “Setelah mereka menikah, mereka menerapkan ilmu yang telah dipelajari. Buktinya, mereka yang telah menikah sering kembali untuk mendapatkan bimbingan lebih lanjut. Kami menjadi pendamping seumur hidup,” jelas Samsul.

Berbagai materi diajarkan kepada calon orang tua dan orang tua di sekolah ini, antara lain:

  • Cara memandikan bayi: Mengajarkan teknik dan tips untuk memastikan keamanan dan kenyamanan bayi saat dimandikan.
  • Memasak dengan gizi seimbang: Memberikan pengetahuan tentang pentingnya nutrisi yang baik dalam makanan sehari-hari untuk keluarga.
  • Mengatur keuangan keluarga: Membekali peserta dengan keterampilan manajemen keuangan yang penting untuk kesejahteraan keluarga.
  • Keterampilan komunikasi: Menekankan pentingnya komunikasi yang efektif antara pasangan dan dalam keluarga.
  • Pengasuhan berbasis cinta: Menjelaskan pentingnya pendekatan pengasuhan yang hangat dan mendukung untuk perkembangan emosional anak.

Tidak hanya masalah teknis seperti yang telah disebutkan di atas, di SCI dan SCA Samsul Husen juga memasukkan materi mengenai urusan ranjang. Di SCA dan SCI, peserta diajak untuk membahas berbagai aspek kehidupan intim.

"Berdasarkan penelitian kami, masalah utama dalam keluarga sering kali berasal dari urusan ranjang."  Husen menegaskan urgensi memasukkan materi seksologi sebagai salah satu kurikulum.

Tim di SCA dan SCI menyadari pentingnya membahas topik ini. Meskipun banyak orang menganggap urusan ranjang sebagai hal yang tabu, di SCA dan SCI, topik ini dibahas secara terbuka dalam kerangka agama dengan perspektif fiqih. Menurut Husen, banyak orang salah paham tentang apa yang sebenarnya diperbolehkan dan tidak diperbolehkan menurut syariat.

Karena dedikasinya dalam pendidikan calon ayah dan calon ibu, dan dampaknya yang positif dalam meminimalisir fatherless serta membentuk keluarga yang lebih harmonis dan mendukung perkembangan anak. Samsul Husen, pendiri Sekolah Calon Ayah dan Sekolah Calon Ibu mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi pada tahun 2022. Sekolah ini memberikan pelatihan dan pendidikan yang komprehensif, menekankan pentingnya komunikasi, dukungan emosional, dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan sehari-hari.


Kegiatan di Sekolah Calon Ibu (Dok: Samsul)

Program pendidikan seperti yang diinisiasi oleh Samsul Husen menunjukkan bahwa perubahan adalah mungkin. Dengan meningkatkan kesadaran dan memberikan pendidikan yang tepat, kita dapat mengubah persepsi dan praktik pengasuhan, sehingga kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, dapat berperan aktif dalam mendukung perkembangan anak-anak mereka.

Masyarakat dan pemerintah dapat berperan dalam mengedukasi dan mendorong para ayah untuk lebih terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Kampanye kesadaran publik dan program dukungan bagi keluarga dapat membantu mengurangi dampak budaya patriarki dan meningkatkan partisipasi ayah dalam pengasuhan.

Melalui pendidikan yang berkelanjutan dan dukungan masyarakat, diharapkan para ayah di Indonesia dapat lebih terlibat secara emosional dan aktif dalam kehidupan anak-anak mereka, mengurangi fenomena "fatherless," dan membantu membangun generasi yang lebih kuat dan seimbang.

Samsul Husen, Pendiri Sekolah Calon Ayah dan Sekolah Calon Ibu

Semangat menjadi Ayah dan Ibu yang berkualitas jiwa dan raga, demi generasi penerus yang cemerlang. 

Comments